Thursday, 26 January 2017

SYAIR (entahlah)

"Ternyata tidak selamanya menyuarakan kebenaran dianggap sebagai kebaikan."

"Pidatomu untuk dirimu bukan untuk kami yang bernanah luka perih, Pidatomu untuk gincu kepalsuanmu. Ucap katamu tak lebih suara kodok yang tak dimengerti kami bangsa manusia. Engkau sungguh abai saudaraku, premanisme berkedok agama cetuskan reperkusi ketakutan tak kau sebut dalam pidatomu. Ledakan tabung gas elpiji tiga kilogram, kau serupakan dengan letupan mercon. Lantas tak kau rapalkan dalam pidatomu yang membahana oleh ratusan belas kali tepuk tangan. Kau juga tak berucap dalam pidatomu, betapa banyak anak cerdas negeri ini cuma mampu menelan ludah untuk sebuah keinginan mengenyam pendidikan bermutu dan bermakna."


"Belanja kepasar, ke toko-toko, hilir mudik, mengantar anak sekolah dsb. Memakai Fasilitas negara (PLAT MERAH). Apakah mereka sadar, apakah mereka tidak malu atau tidak ada muka malu ? Anda boleh mengatakan itu masih grey area, tapi buat saya sudah jelas itu black area. Di manakah sense of crisis para birokrat kita ?"




MASA SEKARANG:
Mengatasnamakan Tuhan untuk kepentingan yang buruk. Menginjak orang lain demi Kekuasaan. Mengambil harta orang lain secara halus & kasar. Lobi dengan Uang & ada orang dalam.

MASA DEPAN (mungkin):
Mengakui dirinya Tuhan. Saling menghina antar agama.

Premanisme. Menghakimi & Membunuh untuk menggapai tahta demi sesuap nasi.


"Bukan rasa dingin, ngantuk & sehat Mu yang tidak kami dengarkan & rasakan. Namun telingga kami yg sengaja kami tulikan, tubuh yg kami tipu utk menghangatkan. 
Bila Engkau tidak senang, maka cepatlah menjadi SIANG. Bila Engkau marah, Diamlah..

Biarkan kami berkarya demi mencari makan secukupnya. Untuk kedepannya, biarlah sang pencipta yang Bicara. "Untuk Mu MALAM. "


"Engkau beri rasa benci, karena kami manusia dihasut oleh bayang-bayang empat sifat alam.  Terkadang kami malu-malu ingin berbisik kepada Mu, Namun ada juga yang tanpa ragu menari menghampiri Mu.  Sita-lah rasa ini sesaat biar kami belajar Kata Maaf Sepolos Makanya. Tegur kami dengan sopan, biar kami tahu arti Taubat yg sesungguhnya."



"Dia yang mendahului suara Azhan untuk mengingatmu, Dia yang tanpa kau sadari selalu menyelipkan nama mu disetiap lapaz Doa, Dia yang selalu ada menyabarkan mu, dia yang masih memuji mu walau yang lain mengina dan Dia yang ikut mendaki dari bawah, bukan mereka yang hanya menunggu dipuncak. 
Yakinlah Tuhan ada dalam dirinya."



"Walau dalam Miliyaran kata, namun Engkau masih gagal Kami gambarkan."


"Berubah Prinsip, Bergerak maju walau setapak demi setapak, belajar dari masa lalu. Mungkin pergerakan terlalu lamban, selalu dikalakah oleh bayangan yang egois dengan nafsu dunia, padahal tahu itu bisikan setan. Mencoba menyegerakan tindakan daripada berkomentar dengan sopan."


"Terkadang, Lebih baik Tetap memilih hitam yg dihinakan, dari pada putih yg membinasakan."


"Lusuh,rapuh,tak tersentuh, terdiam menatap bisu. Perlahan debu menutup keagungan-Mu. Saat nafsu bersandar, terlena indahnya mawar yang menghiraukan lembaran lembaran abadi. Hanya hati yang dapat meniti. Tinta pena kehidupan mengikis & hampir habis. Namun masih banyak cerita yg ingin ku tulis dalam sebuah syair. Satu pinta ku... beri aku waktu mu Tuhan."


"Satpam, bila ada yang datang kekantor, jangan bukakan pintu & jangan bilang aku ada, apabila kau tanya mereka & meraka jawab "ada urusan pribadi". 
Tapi apabila "ada urusan kantor, silakan masuk. Apakah sosok ini ada?"


"Lapaz syair menggema membentang tirai rindu, mengikis sanubari, terjerat & terbenam di lamunan kesetian."


"Wahai sang penguasa Gedung, Tarik & ambil mereka yang berkompetensi, mereka yang berprestasi, bukan karena darah, bukan karna siapa yg dibelakang layar, bukan karena jumlah kertas yg mereka hidangkan. Tidakkah disadari, Noda yg Engkau buat bukan sebuah revolusi tapi sebuah manipulasi yg sudah terkendali oleh rakusnya aturan yg hanya imitasi."

"Ketika kesal & lelah menjadi badai di malam hari. Tembok yg dibangun tak bisa membendungi. Roboh & ambruk diterjang badai, yg tersisa hanya puin kebencian yg abadi."


"Yang lain Insyaallah sudah. Tinggal mencari rizki lebih & mengsholehkan diri, untuk tetap berdiri di shaf depan, biar dia mengikuti & mengamini."


"Tidakkah mereka sadari, mereka hanya Mendengar kaidah yg tertata dalam wadah beriramakan sebuah musibah. Menari & berdasa bersama sebuah bercana di keheningan malam. Petikkan gitar klasik menjadi saksi sebuah tragedi senja yg akan hadir pada saat malaikat berdasi kembali melafazkan janji yg berakhir benci."

No comments:

Post a Comment